Selasa, 18 Desember 2012

Dibuka kelas PRIVATE KOMUNITAS untuk Mata Pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. Harga tersebut berlaku  hanya untuk area Jakarta Timur dan Bekasi.



Rabu, 28 Desember 2011

TEMARAN SENJA


Hampir tujuh jam lebih matanya hanya tertuju pada artikel setebal 50 halaman. Berulang ia baca dalam perjalanan Tokyo - Jakarta. Sebuah buku kumpulan artikel tentang Indonesia. Hanya sesekali tangannya terlihat mengambil camilan yang ia bawa.
Dialah Sakurani Iwata. Gadis periang berdarah Indo-Jepang, dan sangat concern pada pendidikan anak anak di kota kelahirannya, Mitaka-Shi. Sedari kecil, sudah menjadi hobinya memperhatikan tingkah laku teman teman sepermainannya.

Berbekal tekad dan kemauannya yang keras, jadilah ia seorang pendidik handal di bidangnya. Berkombinasi dengan bakat alami yang ia miliki, berupa kemampuan menganalisa karakter anak didiknya, sampai pada hal hal yang biasanya di remehkan orang lain.
Hari hari yang ia jalani dan pekerjaan yang ia tekuni berjalan mulus sesuai keinginannya, dan atas izin Allah tentunya. Suatu hari, selepas melaksanakan tugasnya dalam gempa dan tsunami Jepang pada Maret lalu, hatinya tergerak untuk mengunjungi Negeri Leluhurnya dan negeri tercinta tempat asal serta kelahiran Mama nya, Indonesia, untuk mengadakan riset tentang perkembangan pendidikan anak anak di negara negara bekas jajahan Jepang Pasca PD II. Dan Indonesia adalah salah satu tujuan utamanya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

BANDARA SOEKARNO - HATTA

Tergesa langkahnya meninggalkan Travel Check. Khawatir contact yang menghubungkannya telah pergi, karena sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang telah disepakati.
Jeli matanya memperhatikan tiap orang yang lalu lalang. Berharap ada yang melambaikan tangan ke arahnya. "Pak, siapa yang menjemput saya?", ia hubungi kembali contact yang tadi berjanji akan menjemputnya.
"Wah maaf...Bu... Mendadak saya sakit perut jadi saya suruh sopir saya aja buat jemput Ibu. Nanti dia yang akan nelpon Ibu..", jawab suara di telpon beralasan.
"Oh gitu... Ok deh... Lain kali konfirmasi ya...Jika ada perubahan..", balasnya.
Tuts..! Pembicaraan terputus. Masih menunggu ia dengan seribu tanya, "Beginikah keadaan negara Mama ku?".
Lama pula menunggu. Sempat terpikir ia dikelabui, namun tak lama kemudian prasangkanya sirna. Karena orang yang menjadi contact penghubungnya telah datang. Tanpa ba - bu - bi lagi ia langsung berangkat, mengikuti langkah penjemputnya menuju mobil yang dikemudikan sang penjemput.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

TERAS RUMAH
Termenung ia, diam tak berkata, berteman suara jangkrik dan katak sawah. Sementara, pandangnya tak bergeming menikmati gemerlap bintang di langit sana.
Sejuta pikir terasa menggelayut di kepalanya. Bukan lantaran bingung di hari pertama ke Indonesia. Namun rasa takjub pada indahnya sopan santun dan tingkah orang orang di sekolah yang tadi siang baru saja didatanginya.
Hal yang sangat berbanding terbalik dengan aqan apa yang selama ini di dengar dan di tontonnya di televisi sewaktu ia masih di negerinya.
"Inikah wajah Islam sesungguhnya?", batinnya bertanya. Memikirkan tingkah tiap orang yang tadi siang ditemuinya. Begitu mengagumkannya walau hanya enam puluh menit lamanya.

Ternyata benar dugaannya, tak mungkin ada agama yang mengajarkan terorisme pada pemeluknya.
"Mungkin ada pihak tertentu yang sengaja memutar balikan fakta untuk mengeruk keuntungan atau boleh jadi karena kebenciannya pada Islam", logika analisanya mulai menalar tajam.
- - - - - - - - - - - - - - -

RUANG GURU
Berdua ia bersama Nia, seorang guru senior yang selalu membantunya tiap kali ia menemukan kesulitan dalam observasinya. Nampak lahap keduanya menyantap makan siangnya walau dengan menu yang berbeda dengan menu dinegaranya. Tiba tiba.......
Grrrghrr... Klik ! HP-nya berdering.
"Moshimoshi.... O genkidesu ka?", sapanya. Nampak gembira sekali ia memjawabbnya.

"Genkidesu, arigato. To suru?", balas suara di HP.

"Watashi wa koko ni shiawasedesu".

"Suru toki wa, Nippon ni ie ni kaeru nodarou ka?".

"Tabun atarashii toshi".

"Sayonara".

"Sayonara..", balasnya menutup pembicaraan. Tergelitik Nia mendengarnya, karena loud-speaker mode membuatnya sangat terdengar jelas.


"Siapa?", tanya Nia.

"Papaku... Menanyakan kabarku".

"Duh... Perhatian banget deh Papanya".


TOK...TOK...TOK...
"Permisi...". Obrolan mereka terhenti oleh ketukan pintu pak Chandra, sang office-boy.
"Bu..Di panggil Kepsek, ditunggu di kantor katanya", lanjut Pak Chandra.

"Berdua?", tegas Nia.

"Betul Ibu...", Pak Chandra mengacungkan jempol tangan kanannya ke atas. Akhirnya, bersama sama mereka menoju kantor kepala sekolah setelah menghabiskan makan siangnya.


DINI HARI
Ia tengok jam dinding yang menggantung diatas pintu kamarnya. Hampir jam 3 pagi. Tak seperti biasa, malam ini matanya seolah memintanya untuk segera berjaga lebih awal untuk beranjak dari tidur lelapnya. "Malam yang sangat sunyi", pikirnya. Suasana yang sangat berbeda dengan kehidupan kotanya yang seolah tak pernah mati dari hiruk pikuknya aktifitas dunia. Terkenang ia tatkala suatu malam ia dibangUnkan Papanya memintanya meniup lilin dimalam saat ulang tahunnya. Kala itu Mamanya hanya bisa menelpon karena berada diluar kota. Banyak sekali pesan singkat yang masuk saat itu, dari teman kuliah dan rekan kerjanya. Semua intinya sama, mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Itulah malam terakhir ia berkomunikasi dengan mamanya, karena esoknya hanya kabar yang ia terima lewat rekan kerja mamanya bahwa mamanya meninggal dunia. Terkena serangan jantung katanya. Tak terlukiskan perih pedih rasanya saat itu karena kehilangan mama yang sangat dicintainya. Air matanya pun menetes tiap2 mengingatnya.
"Mama...!!", pekiknya tiba.
Suara itu. Suara itu mirip sekali dengan suara mamanya. Irama syahdu mendayu dikejauhan sana. Sempat ia mencubit lengannya, memastikan ini bukan mimpi atau khayalannya. Ya, tak salah lagi. "Ini suara mama", gumamnya. Seketika saja, bagai terobati kerinduannya pada sang mama ketika mendengar lantunan syahdu irama khas mamanya. Lantunan irama inilah yang membuat papanya terpikat meminang mamanya dan menyatakan ke-Islamannya tanpa keraguan didalamnya. Lantunan tilawatil Qur'an yang biasa dilakukan mamanya sepanjang hidupnya.


"Nanti antar aku ke toko buku ya..", pintanya pada Nia.

"Boleh... Tapi ba'da Ashar aja ya? Aku harus ijin suami dulu."

"It's ok, then."
- - - - - - - - -

Nia melirik pada Sakura-ni yang nampak serius membaca buku ditangannya.
"Baca buku apa?", tanya Nia.

"Buku mama. Emmhh.... Maksudku buku karangan mama. Ku 'gak nyangka buku mama diterbitkan juga di Indonesia."

"wah hebat ya mama-mu. Gimana rasanya jadi anak penulis?"

"Yah..sama saja-lah. Tidak jauh beda kok dengan orang tua lainnya."
"Oh iya, kamu ada kenal guru mengaji tidak?", lanjutnya.

"Buat apa??!", tanya Nia agak terkejut.

"Aku mau belajar baca Qur'an."
Sakura-ni tertunduk, mungkin malu kepada Nia.
Matanya seperti mengembang berkaca kaca.
Nia tak tahu harus bagaimana. Karena ia khawatir ada ucapannya yang salah.

Sejak kejadian malam itu Sakura-ni memang lebih banyak merenung.
Kejadian malam itu memang tak masuk akal baginya. Sampai sampai hampir semua orang diajaknya berbicara tak mempercayainya.
Tak percaya bukan lantaran ia berbohong namun karena tak seorang pun mampu menangkapnya secara akal sehatnya. Memang hal yg gh0ib itu ada dan itu wajib di imani setiap kita.

Nia selaku teman dekatnya mencoba memahami keadaannya.
Tanpa banyak kata Nia pun mengajaknya menemui temannya yang seorang guru mengaji, tak jauh dari rumahnya.
"Mungkinkah ini yang di sebut Hidayah?", pikir Nia.



to be continued.. :-)